PAPAN 9

PAPAN 9
Original Artwork by Papa, Azhan and Nine (click image to link)
‘In the Name of God, Most Gracious, Most Merciful. By Time, indeed humanity is in a state of loss. Except those who believe and do righteous deeds, and (join together) in the mutual teaching of truth and in the mutual teaching of patience’ (Surah al-`Asr, 103:1-3)
"Professional Architect lives almost by faith. When called upon he can do the job without fear or favour. He possesses aspecialized skill and lives by a code of ethics cloaked in honour andintegrity. He is expected to speak his mind and give his views. Whenfaced with absolute wrong, he can resolutely disagree and walk away." quote from THE PROFESSIONAL MAN by Ar Dr Tan Loke Mun PRESIDENT PAM

Saturday 29 December 2007

Di Atas Runtuhan Kota Melaka

Di atas runtuhan Melaka lama
Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari

Di atas munggu yang ketinggian

Penyair duduk termenung seorang
Jauh pandangku ke pantai sana
Ombak memecah di atas karang

Awan berarak mentilau bernyanyi

Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu

Sunyi dan sepi, hening dan lingau

Melambai sukma melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru umat tunduk ke Tuhan

Di sini dahulu alat kebesaran

Adat resam teguh berdiri
Duduk semayam Yang Dipertuan
Melimpahkan hukum segenap negeri

Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah

Satria moyang Melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
‘Tidak Melayu hilang di bumi’

Di sini dahulu paying terkembang

Megah Bendahara Seri Maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara

Penyair menghadap ke laut lepas

Selat Melaka tenang terbentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang

Wahai tuan Selat Melaka

Mengapa tuan berdiam diri?
Tidakkah tahu untung hamba
Hamba musafir datang ke mari

Di mana Daulat Yang Dipertuan

Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat
Mana Bendahara johan pahlawan
Bukankah jelas di dalam babad

Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Sedikit penyair bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari

Mengapa ini bekas yang tinggal

Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wahai larat dipukul untung

Adakah ini bekas peninggalan

Belahan diriku umat Melayu
Lemah dan lungai tiada karuan
Laksana bunga terkulai layu

Jauh di darat penyair melihat

Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dahulu

Di dalam kuasyik merenung gunung

Di dalam kemilau panas kan petang
Tengah khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang

Penyair hanya duduk sendiri

Tapi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berubah warna alam yang permai

Ada rasanya bisikan sayu

Hembusan angina di Gunung Ledang
Entah puteri datang merayu
Padahal beta bukan meminang

Bukanlah hamba Sultan Melaka

Jambatan emas tak ada padaku
Kekayaanku hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku

Justeru terdengar puteri berkata

Suaranya halus masuk ke sukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama

Bukan kuminta jambatan emas

Tapi nasihat hendak kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
Iktibar cucu kemudian hari

Sebelum engkau mengambil simpulan

Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri

Sultan Mahmud Shah mula pertama

Meminang diriku ke Gunung Ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkuk takut menuang

Adakan cita akan tercapai

Adakan hasil yang diingini
Jika berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani

Apalah daya Datuk Bendahara

Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang sahaja
Tidak mengingat rakyat yang malang

Sultan Ahmad Shah apalah akalnya

Walaupun baginda inginkan syahid
Mualim Makhdum lemah imannya
‘Di sini bukan tempat Tauhid’

Bendahara Tua Paduka Raja

Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Melaka
Anak cucunya hendak lari pulang

Berapa pula penjual negeri

Mengharap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba

Ini sebabnya umat akan jatuh

Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebab kakinya lumpuh
Menjadi budak belian orang

Sakitnya bangsa bukan di luar

Tetapi terhunjam di dalam nyawa
Walau diubat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya

Janjian Tuhan sudah tajalli

Mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman

Tidaklah Allah mengubah untung

Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk terkatung
Berpeluk lutut berputus asa

Malang dan mujur nasibnya bangsa

Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri

Riwayat yang lama tutuplah sudah

Apalah guna lama terharu
Baik berhenti bermenung gundah
Sekarang dibuka lembaran baru

Habis sudah madahnya puteri

Ia pun ghaib capal pun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Di hadapan cahaya jelas membentang

Pantai Melaka kulihat riang

Nampaklah ombak kejar-mengejar
Bangunlah Tuan belahanku saying
Seluruh Timur sudahlah besar

Bercermin pada sejarah moyang

Kita sekarang mengubah nasib
Di zaman susah atau pun riang
Tolong tetap dari Yang Ghaib

Bangunlah kasih, umat Melayu

Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah dibuang jauh

Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya, iman pun teguh
Zaman hadapan, penuh harapan

Bukanlah kecil golongan tuan

Tujuh puluh juta Indonesia
Bukan sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia

Kutarik nafas, kukumpul ingatan

Aku pun tegak dari renungku
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat sifat hidupku

Kota Melaka tinggallah sayang

Beta nak balik ke Pulau Percha
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua

HAMKA (1908-1981),
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah

No comments: